Sampaikan Perasaan Cintamu Padanya!
Nabi bersabda: “Apabila salah seorang kalian mencintau rekannya, seyogyanya ia mendatanginya di rumahnya dan memberinya tahu bahwa ia mencintainya karena Allah”
Sesungguhnya ajaran Islam merupakan ajaran yang penuh
kasih sayang. Tidak ada ajaran manapun yang melebihi kasih sayang dalam
ajaran Islam. Bagaimana tidak? Sementara dalam Islam diajarkan bahwa
semua pemeluk agama Islam itu bersaudara. Satu sama lain memiliki
hubungan ukhuwah. Mereka dipersatukan oleh kalimat tauhid yang kokoh.
Selain itu, sesama umat Islam dianggap sama di hadapan Allah Ta’ala.
Karenanya Islam tidak mengenal istilah kasta. Mereka yang duduk di atas
kursi kepemimpinan dengan mereka yang berada di bawah terik matahari
bercocok tanam sama di sisi Allah. Mereka yang memiliki istana mewah
sama kedudukannya dengan mereka yang hanya bertinggal di bawah kolong
jembatan. Semuanya sama. Tak ada bedanya.
Tidak sampai di situ, persaudaraan dalam Islam dianggap
suatu urgensitas kekuatan. Apalagi di saat kondisi musuh mengepung dari
segala penjuru, seperti yang terjadi di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
tatkala kaum kuffar bersepakat untuk memburu kaum muslimin. Siksa demi
siksa terus diarahkan kepada siapa pun yang memeluk Islam. Karenanya,
Allah Ta’ala memerintahkan supaya kaum muslimin bersatu. Baik bersatu
dalam pendapat maupun tempat. Akhirnya hijrah pun disyariatkan. Mereka
yang masih tinggal di Makkah diperintahkan supaya berhijrah ke Madinah
untuk berkumpul bersama saudara-saudara seiman mereka di sana demi
tercapainya tujuan yang mulia.
Bahkan Allah sampai mengancam orang yang enggan
melakukan hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam bukan karena alas an
syar’i. hal ini tercermin dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا
يَهْتَدُونَ سَبِيلًا فَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ
وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang
yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan
Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS: An-Nisa: 97-99).
Demikianlah, persatuan umat Islam yang diperlukan dalam setiap kondisi. Terkait persaudaraan sesama muslim, Allah Ta’ala menegaskan,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS: Al-Hujarat: 10).
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره بحسب امرىء من الشر أن يحقر أخاه المسلم
“Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak
boleh menganiayanya, menelantarkannya, dan meremehkannya. Orang yang
merendahkan saudaranya semislam itu sudahlah dianggap sebagai orang yang
buruk perangainya” (HR Muslim).
Dalam hadits lain, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحب لنفسه
“Iman salah seorang kalian tidaklah sempurna sampai ia mencintai
pada apa yang ada pada saudaranya persis seperti ia mencintai sesuatu
yang ada pada dirinya sendiri”
Dalam Shahih Al-Bukhari, ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hendak meminang ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– dari bapaknya, Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu-, Abu Bakar –antara lain- mengatakan pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
“Aku ini hanyalah saudaramu”. “Engkau adalah saudaraku menurut agama
Allah dan kitab-Nya, sedangkan ‘Aisyah halal untuk diriku”.
Pada kesempatan lain, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyatakan:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai,
menyayangi, berbelas kasih sesame mereka itu bagaikan satu jasad yang
apabila ada anggota badan itu ditimpa sakit, maka seluruh anggota badan
lain akan merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam”.
Oleh karena hal tersebut, sehingga tidaklah heran manakala Allah Ta’ala mensyariatkan orang-orang Islam yang masih hidup untuk mendoakan suadara-saudara merek ayang sudah meninggal.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS: Al-Hasyr: 10).
Di samping itu, terkadang keakraban seorang muslim dengan saudaranya
itu akan lebih erat ketika masing-masing merasa diperhatikan oleh
saudaranya itu. dengan demikian orang akan merasa kuat dan tegar dalam
segala keadaan karena Allah telah mengiriminya saudara yang siap
membantunya kapan pun. Dengan itulah orang-orang mukmin terlihat kokoh
dan perkasa di hadapan orang-orang kafir sehingga mereka disegani dan
dipandang.
Dari situ maka termasuk hal yang sunnah dalam persaudaraan seiman
ialah menyampaikan perasaan cinta itu kepada orang yang dicintainya.
Mengenai hikmah dibalik itu, Al-Munawi mengatakan, “Hal tersebut akan
melanggengkan keakraban dan mengokohkan rasa cinta. Dengannya kecintaan
akan bertambah dan berlipat, menyatukan suara serta pendapat di antara
sesame orang Islam, dan menggugurkan kerusakan serta dendam kesumat. Ini
merupakan bagian dari keindahan syariat Islam” (Faidhul Qadir I/357).
Sebelumnya beliau menjelaskan bahwa apabila ia memberinya tahu
tentang perasaan cintanya itu, maka hatinya kan lebih condong dan akan
diperolehlah rasa kasihsayang. Karena apabila ia mengetahui bahwa ia
mencintainya sebelum ia memberinya nasehat tentang kekeliruannya supaya
dapat ditinggalkannya, ia tak akan menolak. Sehingga keberkahan dapat
diperoleh di situ.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Ada seseorang yang bersanding dengan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lantas lewatlah seseorang. Orang yang di saniding Nabi tadi pun berkata, “Sejatinya aku mencintai orang ini”.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun bertanya, ‘Sudahkah engkau beri tahu dia?’
Ia menjawab, ‘Belum’.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, ‘Kalau begitu berilah dia tahu’”.
Anas menceritakan, “Maka orang tadi pun mengejarnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”
Ia menimpali, ‘Semoga Dzat yang telah membuatmu mencintaiku, mencintaimu’” (HR Abu Dawud).
Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Dzar –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya ia mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا أَحَبَّ أَحَدَكُمْ صَاحِبَهُ ، فَلْيَأْتِهِ فِي مَنْزِلِهِ ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ لِلهِ
“Apabila salah seorang kalian mencintau rekannya, seyogyanya ia
mendatanginya di rumahnya dan memberinya tahu bahwa ia mencintainya
karena Allah”.
Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad meriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Salah seorang shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
pernah menjumpaiku. Ia meraih pundakku dari belakang seraya bertutur,
“Sesungguhnya aku mencintaimu”. Ia berkata, ‘Semoga engkau dicintai Dzat
yang telah membuatmu mencintaiku’. Ia berkata pula, ‘Kalaulah
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah bersabda,
إذا أحب الرجل الرجل فليخبره أنه يحبه
“Apabila seseorang mencintai orang lain, hendaknya ia memberinya
tahu bahwa ia mencintainya, tentulah aku tidak akan memberimu tahu”.
Mujahid berkata, “Beliau pun mulai menawariku untuk melamar
seseorang. Katanya, ‘Sesungguhnya ada di tengah-tengah kami budak
wanita. Namun ketahulah bahwa dia itu bermata sebelah’”.
Dikisahkan dari Abu Muslim Al-Khaulani –rahimahullah-,
kisahnya, “Pernah aku memasuki sebuah masjid di kota Homs. Di dalamnya
kujumpai ada sekitar 30 orang yang sudah tua dari kalangan shahabat Nabi
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Di tengah mereka
terdapat anak muda yang kedua matanya hitam, gigi depannya putih
berdiam. Apabila orang-orang bingung terhadap suatu masalah, mereka
menghadapnya untuk memecahkan masalah itu.
Aku pun bertanya pada orang yang duduk di sisiku, ‘Siapakah gerangan?’. Jawabnya, ‘Beliau itu Mu’adz bin Jabal’.
Tiba-tiba terpatrilah rasa cintaku padanya dalam hatiku. Aku masih
saja berada di tengah mereka sampai bubar. Aku pun lantas bergegas ke
masjid. Ternyata Mu’adz bin Jabal tengah mengerjakan shalat menghadap
suatu tiang masjid. Beliau terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku pun
demikian tak mengajakknya berbincang. Aku kerjakan shalat lantas aku
duduk duduk dengan beralaskan kainku. Beliau masih duduk terdiam tidak
mengajakku berbicara. Aku juga berdiam diri tidak mengajaknya berdialog.
Kemudian kukatakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu.’ Beliau
menimpali, ‘Kamu mencintaiku karena siapa?’ Kataku, ‘Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala.’
Beliau pun mengambil kainku dan menarikku kepadanya sebentar. Beliau
berkata, ‘Kalau kamu jujur, maka selamat! Sebab aku telah mendengar
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
المتحابون في جلالي لهم منابر من نور ، يغبطهم النبيون و الشهداء
“Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi
mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat para nabi dan orang yang
mati syahid iri pada mereka”.
Abu Muslim mengisahkan, “Aku keluar dan berjumpa dengan ‘Ubadah bin Ash-Shamid –radhiyallahu ‘anhu-.
Kataku, ‘Wahai Abul Walid (sapaan ‘Ubadah), maukah aku ceritakan
padanmu tentang apa yang telah diceritakan Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu– terkait orang-orang yang saling mencintai?’
Jawabnya, ‘Aku akan menceritakan padamu dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diriwayatkannya dari Rabb Ta’ala’. Dia berfirman,
حقت محبتي للمتحابين في ، و حقت محبتي للمتباذين في ، و حقت محبتي للمتواصلين في
“Orang yang saling mencintai karena diri-Kuberhak memperoleh
cinta-Ku, orang yang saling memberi bantuan berhak mendapatkan cinta-Ku,
dan orang-orang yang saling menyambung (kekerabatan) berhak Kucintai” (HR At-Tirmidzi).
Sekarang timbul pertanyaan, bolehkan menyampaikan ungkapan semacam ini pada wanita bukan mahram?
Al-‘Allamah ‘Abdurrauf Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (I/247) ketika menjelaskan hadits:
إذا أحب أحدكم عبدا قليخبره فإنه يجد مثل الذي يجد له
“Apabila salah seorang kalian mencintai seseorang, hendaklah ia
memberinya tahu. Sebab, sesungguhnya ia merasa seperti apa yang
dirasakannya”.
Katanya, “Maksudnya ialah seseorang dari kalangan orang-orang muslim,
kerabat maupun lainnya, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ini ditaqyidkan dalam pada itu jika wanita tersebut ialah isteri atau mahramnya”.
Dalam As-Siraj Al-Munir (I/79), ‘Ali bin Ahmad Al-‘Azizi
menulis, “Yang dimaksud dengan saudara di sini ialah seseorang, laki
maupun perempuan. Penempatannya, jika laki-laki mengucapkan pada
laki-laki, dan apabila perempuan mengucapkan pada perempuan. Atau
laki-laki mengucapkan pada wanita mahramnya atau isterinya jika itu
wanita bukan mahram”.
Adapun hikmah dibalik larangan mengungkapkan rasa cinta pada wanita
yang bukan mahram ialah agar tidak terbelenggu dalam fitnah. Apalagi
jika yang mengucapkan adalah pria muda kepada wanita remaja. Karena pada
prinsipnya, cinta pada wanita itu hanya terjadi pada isteri dan mahram.
Sementara kepada wanita asing yang bukan mahram, pintu komunikasi harus
benar-benar ditutup, tidak boleh dibiarkan terbuka menganga.
***
Penulis: Firman Hidayat bin Marwadi
Artikel Muslim.or.id
Komentar
Posting Komentar